Di Fakfak, Rp 20.000 Dianggap "uang Kecil" !!





Boleh percaya, boleh tidak. Uang denganpecahan-pecahan tersebut termasuk barang langka di kota asal saya, Fakfak,Papua Barat! Hal ini terutama sekali dirasakan oleh pemilik toko-toko di sana.Yakni, ketika harus memberi uang kembalian dari transaksi-transaksi penjualandi tokonya.

Saking langkanya sampai uang denganpecahan-pecahan tersebut biasanya dicari sampai di Jawa. Terutama sekali diSurabaya. Untuk kemudian dikirim ke sana. Yang paling sulit adalah pecahan Rp.1.000. Repotnya, pecahan ini juga cukup sulit dicari di Surabaya dalam keadaanmasih baru.

Jangan tanya lagi bagaimana dengan pecahan Rp500. Karena pecahan Rp 500 ini sudah nyaris tak terlihat di sana. Inidipengaruhi oleh harga barang-barang di sana yang serba tinggi. Tidak ada lagibarang berharga di bawah Rp.1.000. Termasuk sebatang jarum sekalipun.Barang-barang di Papua memang jauh lebih mahal daripada di Jawa, karena masalahtransportasi, dan tidak adanya pabrik yang menjual langsung produknya di sana.Semuanya harus dikirim dari Pulau Jawa (Surabaya).

Oleh karena itulah gaji PNS-PNS di sana jugalebih tinggi daripada rekan-rekannya di belahan Indonesia Barat. Istilah"Tunjangan Kemahalan" sudah lama dikenal di sana.

Biasanya, saudara saya di Fakfak rata-rata 2-3bulan sekali minta tolong kepada saya untuk menukar uang pecahan Rp 1.000sampai dengan Rp 20.000 itu di Bank Indonesia. Jadi, uang yang didapat selaluadalah uang baru yang masih dalam bungkus plastik. Sekali menukarnya mencapaipuluhan juta rupiah.

Di Fakfak, uang pecahan Rp 1.000 sampai denganRp. 20.000 itu sering juga disebutkan dengan istilah yang sebenarnya kurangpas: "Uang kecil". Jadi, uang Rp. 20.000 termasuk "uang kecil" di sana.

Pecahan Rp. 500 sudah tidak dicari lagi,karena seperti yang saya katakan di atas, pecahan itu "sudah tidak laku" lagidi sana.

Penyebab utama kelangkaan yang sudah berbilangbelasan tahun ini dikarenakan bank-bank di Fakfak sudah tidak pernah lagimendapat pasokan uang dengan pecahan-pecahan demikian dari Bank Indonesia.Jadi, warga Fakfak yang membutuhkan uang-uang itu dipersilakan mencari dengancaranya sendiri.

Saat ini di Fakfak hanya terdapat empat bank.Yakni, Bank Mandiri, BRI, Bank Papua, dan satu bank swasta, Bank Mega.Jangankan menerima penukaran uang, bank-bank ini sendiri pun sering mengalamikesulitan memperoleh uang pecahan tersebut.

Para pedagang asal Jawa, yang cukup banyaksukses berdagang di sana, ketika mudik ke Jawa, biasanya juga membawa pulanghasil usahanya itu yang terdiri dari uang tunai pecahan-pecahan yang justrusulit didapat di Fakfak itu. Akibatnya, kelangkaan uang dengan pecahan-pecahandemikian bertambah parah.

Memang cukup memprihatinkan melihat keadaanseperti ini. Kota Fakfak, di Papua Barat ini bisa dikatakan sebuah kota kecilyang serba kekurangan kebutuhan-kebutuhan penting seperti ini.

Selain uang kecil, kelangkaan yang sudahmenjadi persoalan rutin sehari-hari masyarakat Fakfak adalah kelangkaan elpiji,dan BBM. Plus listrik yang sampai hari ini masih hampir setiap hari byar-pet.Dalam sehari rata-rata terjadi pemadaman 3-5 kali! Demikian juga dengan airPDAM.

Kalau hujan, air yang disalurkan oleh PDAMselalu berubah menjadi keruh. Sungguh tidak cocok dengan nama perusahaannya:Perusahaan Daerah Air Minum. Jangankan untuk diminum, untuk mandi dan cuci sajasudah tidak layak. Masyarakat biasanya menampung sendiri air hujan untukdigunakan, maupun sebagai cadangan kalau-kalau air PDAM macet.

Jauh sebelum pemerintah punya rencana maumenaikkan harga BBM bersubsidi, di Fakfak, khususnya premium dan minyak tanahsudah lebih dulu "naik". Harga premium di Fakfak sudah lama di tingkat pengecerpaling murah Rp. 10.000/liter. Itu pun masih sulit untuk didapat. Di satu-satunyaSPBU Pertamina di sana, pemandangan antrian ratusan kendaraan bermotor setiaphari sudah bertahun-tahun merupakan hal biasa, yang tetap terasa sebagai suatupenderitaan yang seolah tak berkesudahan bagi masyarakat Fakfak. Pertamax tidakada di Fakfak.


Follow On Twitter